Minggu, 10 April 2011

Tugas Softskill - Bab.5 ACFTA (10)


Analisis : Setelah Setahun ACFTA Oleh:Suharto Msi 

http://www.kr.co.id/images/pixel.gif
KESEPAKATAN perdagangan bebas ASEAN dan China (ACFTA) telah lebih setahun. Ketika hiruk pikuk menjelang pemberlakuan tak membuat pemerintah bergeming, kini kekhawatiran mulai mengusik sektor industri. Hingga akhir 2010, tercatat neraca perdagangan Indonesia-China berada dalam posisi 49,2 miliar dollar AS (ekspor) dan 52 miliar dollar AS (impor). Artinya, selama tahun 2010 neraca perdagangan Indonesia defisit sekitar 2,8 miliar dollar AS versi pemerintah China. Kondisi sesungguhnya defisit berada pada kisaran 5 -  7 miliar dollar jika diperhitungkan dengan biaya kirim dan asuransi.
Kondisi ini belum pernah terjadi sebelum tahun 2010 atau sebelum perdagangan bebas dijalankan. Indonesia selalu surplus terhadap China, tahun 2009 misalnya tercatat surplus sebesar kurang lebih 4,1 miliar dollar. Apa yang salah dengan industri kita?
Yang pasti ACFTA telah membuat industri nasional semakin terpojok di negerinya sendiri. Ekspor kita ke China didominasi barang mentah baik komoditas pertanian khususnya kelapa sawit dan mineral meliputi batubara dan gas alam. Ekspor semacam itu tidak memiliki nilai tambah yang berarti bagi daya saing ekonomi maupun lapangan kerja. Terlebih lagi peran besar perusahaan China
* Bersambung hal 7 kol 1
 dalam pertambangan di Indonesia. Sementara impor Indonesia didominasi oleh produk industri, yang pada akhirnya merebut ceruk pasar industri dalam negeri. Pelan tapi pasti beberapa sektor sudah mulai berguguran, ancaman PHK pun mulai menghantui.
Impor Indonesia dari China selama tahun 2010 menyumbang sekitar 15 persen dari total impor Indonesia. Nilai impor sekitar 52 miliar dollar AS atau meningkat sebesar 45,9% dibandingkan tahun 2009. Namun yang lebih mengkhawatirkan peningkatan impor terjadi pada sektor dimana Indonesia juga dikenal sebagai eksportir. Beberapa produk dengan rasio impor tinggi meliputi elektronika (36%), furniture (54%), logam (18%), mainan (73%), permesinan (22%) serta tekstil dan produk tekstil/TPT (34%). Sektor-sektor tersebut adalah penyumbang devisa dan padat karya, sehingga ketika terjadi pelemahan maka akan membahayakan perekonomian nasional.
Data statistik yang cenderung menekan industri dalam negeri membuat pemerintah seperti kebakaran jenggot. Kementerian perindustrian yang bertanggung jawab atas kebijakan industri nasional mendorong industri untuk bersiap melakukan negosiasi ulang tentang pelaksanaan ACFTA tersebut. Di satu sisi upaya tersebut patut didukung tetapi di sisi lain pemerintah terlihat tidak siap dengan dampak yang ditimbulkan. Dan akibatnya sangat fatal.
Sejak awal sudah diingatkan bahwa industri dalam negeri memiliki berbagai macam kendala sehingga daya saingnya rendah. Kendala tersebut antara lain adalah mahalnya suku bunga kredit perbankan di Indonesia, di China atau negara kawasan ASEAN lainnya suku bunga pada kisaran 2% - 7%. Sementara di Indonesia rata-rata masih diatas 12%. Kendala laten yang tak pernah di atasi adalah lemahnya infrastruktur pendukung industri. Kualitas dan harga listrik yang mahal akibat suplai gas dan batubara ke PLN tersendat-sendat, bahkan beberapa industri seperti pupuk dan keramik sangat kekurangan pasokan gas. Pemerintah lebih asik menjual komoditas tersebut ke luar negeri.
Kini China ditengarai melakukan praktik dumping untuk memperkuat ekspor. Survei Ditjen Kerjasama Industri Internasional terhadap produk China menunjukkan ada sekitar 190 barang perlu ditelaah lebih lanjut. Sementara yang telah terbukti melakukan dumping (menjual produk dengan harga lebih rendah di Indonesia dari pada di China) ada pada 38 produk asal China. Tetapi apa yang bisa dilakukan menghadapi itu jika pemerintah terlihat sangat lemah dalam melakukan negosiasi dengan mitra dagang khususnya China. Aturan tentang standar nasional industri (SNI), labelisasi dengan Bahasa Indonesia dan sebagainya tak bisa dijalankan hingga kini.
Strategi ofensif dalam rangka meningkatkan daya saing harus dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang berkepentingan. Berbagai kelemahan harus diatasi segera dengan tindakan dan kebijakan nyata bukan terus berwacana. Konsep yang bagus tidak selalu paralel dengan kondisi nyata di lapangan. Banjir produk China sangat memukul industri kecil dan menengah (IKM) sehingga dampak terhadap angka kemiskinan bisa cukup besar. (Penulis adalah Kaprodi Ilmu Ekonomi FE UII)

Sumber : http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=237460&actmenu=45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar